Agama dan Modernisasi (2)

Perdebatan tentang dampak modernisasi terhadap eksistensi agama sudah lama terjadi. Memang ada yang bilang modernisasi pada akhirnya akan menggantikan fungsi-fungsi agama. Agama yang pada dasarnya memberikan pilihan cara hidup yang “cespleng” agar manusia bisa hidup dengan tentram, nyaman, tenang, damai, ndak usah pake festival angkara murka dan konflik, ndak usah pake ketegangan plotot-plototan yang menyebabkan “bedil-bedilan” (tembak-tembakan) pertentangan horizontal antar sesama, mulai tergeser dengan kehadiran modernisasi yang dintrodusir oleh pemerintah atau siapapun juga. Modernisasi malah justru dirasakan lebih menjanjikan sebuah kehidupan yang tak terbayangkan sebelumnya; modernisasi menyediakan tidak saja impian-impian, harapan-harapan masa depan akan tetapi alat-alat canggih untuk mempercepat menggapai cita-cita. Jaman dulu, ketika alat transportasi tradisional adalah naik onta, atau yang lebih cepat lagi naik kuda (mungkin juga naik kambing..kalau ada kambing yang bisa dinaiki), atau naik kerbau (kalau mau), perjalanan menuju tujuan tentu lama dan belum tentu nyaman apalagi kalau binatang-binatang itu mau beser, mau buang angin dan air besar dan ngambek kecape’an lagi. Walah…mumet. Pergantian jaman, manusia cerdas mulai melakukan inovasi di berbagai bidang termasuk inovasi teknologi transportasi. Dampaknya luwaas sekali…transformasi sosial ekonomi dan bahkan juga kebudayaan terjadi. Niali-nilai tradisional termasuk sistim kepercayaan yang selama ini diproteksi secara ekstra ketat lewat berbagai media (cerita, seni, lembaga, dan lain-lain) mulai  sedikit demi sedikit terpinggirkan (termarjinalisasi). Kenapa yak? Karena, antara lain kesaktian, kedigdayaan atau keampuhan agama untuk memberikan janji kehidupan yang “gemah ripah loh jinawi, baldatun toyibatun wa robbun gofur atau baladun aminun” tak kunjung terwujud. Kalangan yang skeptikal tentu bilang “mane…katanya agama memberikan bekal atau alat agar kehidupan itu makmur. Tapi mana buktinya? janjinya doang seperti yang tertulis di dalam kitab-kitab suci mau tegakkan keadilan, wujudkan kesejahteraan, hadirkan kebahagiaan, dan baldatun toyyibatun wa robbun gofur tadi. janji doang …jangan percaya dah sama agama.” Agama itu utopis, malah kalangan Marxis bilang agama tu racun..ngracuni kehidupan sehingga kehidupan ini menjadi begitu kabur, tak jelas, ngimpi-ngimpi aja isinya..modernisasi malah lebih jelas dan menjanjikan; modernisasi lebih ampuh.  Tapi tak sedikit juga kalangan yang meyakini bahwa modernisasi gak bakalan menggerus atau meminggirkan agama. Agama justru akan memberikan nilai lebih dan kekuatan atau landasan filosofis yang kokoh terhadap modernisasi.  Modernisasi akan lebih berkualitas dengan agama;  menjadi negara maju secara sosial, ekonomi dan politik, tak perlu meminggirkan agama. Menjadi masarakat dan negara yang maju sains dan teknologinya, justru memperkokoh keberadaan atau eksistensi agama. Modenisasi dan agama saling memperkuat dan masarakat nggak usah puyeng.

       Gitulah perdebatan teoritis atau konseptualnya tentang agama dan modernisasi, harus saling ngapain mereka? Saya sendiri cenderung tidak skeptikal terhadap masa depan keduanya, agama dan modernisasi. Dan masarakat harus kuat bermartabat dengan keduanya. Karena itu, kauman yang saya ceritakan di uraian terdahulu mustinya tetap merupakan komunitas atau masarakat santri yang kuat, tapi sekaligus modern, nggak GaTek. Mungkin Kauman hanyalah satu kasus saja di mana nilai-nilai agama, ajaran dan tradisi agama mulai terabaikan begitu TV, Game, Email,  HP  dan lain-lain bermunculan hampir di setiap sudut kampungku Kauman. Moga-moga saja begitu. Tapi, saya sendiri ndak terlampau yakin. Kuat kecenderungan manusia atau anak-anak bangsa modern kita ini yang menjadi obsesif atau malah suka berkhayal yang enggak-enggak gara-gara game, gara-gara dunia maya, gara-gara hiburan yang hedonis. Qur’an mulai jarang disentuh (apalagi dibaca), doa-doa nggak banyak yang tahu, bacaan sholat pas-paspasan, atau jangan-jangan ndak tertarik untuk sholat, puasa ramadhan juga seadanya sehingga nggak dapat apa-apa dari kehadiran bulan suci ramadhan kecuali lapar dahaga lelah fisik lelah batin. Mereka kering..kering; mereka tunduk setunduk tunduknya terhadap irama hidup rutin bagai mesin teknologi tanpa ruh. Mereka memang manusia modern dalam pengertian logika modernitas dikuasai. Tapi ya..tadi ..mereka  tetap belum punya ruh..sayang sekali.

      Terlambatkah kita? Tidaklah…peluang masih terbuka lebar..lebar sekali untuk tidak sekedar memperbaiki filsafat kehidupan yang rusak-rusak,akan tetapi sekaligus memberikan alternatif atau paradigma baru bagi kehidupan ini. Dengan cara ini kehadiran agama benar-benar terasa meskipun masarakat telah menjadi sangat advenced dalam soal sains dan teknologi dan sudah sudah sangat modern. Mari kita coba….wallahu a’lam

~ oleh sudarnoto pada Oktober 15, 2009.

Tinggalkan komentar